STRATEGI
KOPERASI DALAM MENGHADAPI
IKLIM
USAHA YANG KURANG KONDUSIF
Slamet Subandi*)
Abstrak
Permasalahan eksternal yang
paling mendasar yang dihadapi oleh koperasi
sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah masalah iklim usaha. Belum
membaiknya iklim usaha dilingkungan koperasi antara lain
diindikasikan dari
kesulitan koperasi untuk mengembangkan permodalan, teknologi
produksi,
pemasaran, dan informasi. Kesulitan tersebut berpangkal dari
adanya berbagai
kondisi baik yang terbentuk secara alami sebagai derivasi dari
sistem
perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul dari berbagai
peraturan
perundang-undangan.
Oleh karenanya dukungan iklim
usaha yang kondusif
bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis
sangat
diperlukan bagi mereka. Sementara itu dewasa ini banyak
pihak-pihak yang
secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan
komitmennya yang
kuat pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi
kebijakan
operasionalnya, masih banyak pula peraturan perundangan baik di
tingkat
pusat maupun di tingkat propinsi, kabupaten dan kota yang justru
menjadi
penghalang bagi ekonom rakyat untuk dapat maju dan berkembang.
Strategi, Koperasi, Iklim Usaha, Perundangan.
Pendahuluan
Ekonomi
Rakyat
Koperasi sudah dikenal sejak masa
kolonial sebagai lembaga ekonomi
rakyat yang berseberangan dengan sistem ekonomi
kapitalis/kolonialis yang pada
waktu itu mendominasi perekonomian negeri terjajah. Peran koperasi
dalam
era kolonial hanya sebatas
memberikan bantuan kepada para anggotanya
terutama pegawai rendahan, para pedagang dan petani miskin.
Eksistensi
koperasi dibatasi oleh berbagai peraturan yang tidak berpihak
kepada rakyat di
negeri jajahan.
Pembahasan
Perjalanan panjang perjuangan
memajukan koperasi adalah sejalan
dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Dalam era
kemerdekaan yang bernuansa demokrasi diharapkan koperasi dapat
tumbuh
berkembang sejajar dengan usaha besar.
Harapan tersebut ternyata tidak dapat
terwujud dengan baik. Irama pembangunan koperasi diawal
kemerdekaan
ternyata juga diwarnai oleh ketidakmapanan sistem politik.
Koperasi baru
memperlihatkan eksistensinya pada era orde baru, tetapi pada waktu
itu konsepsi
pembinaan lebih diarahkan pada upaya menjadikan koperasi sebagai
kepanjangan
tangan pemerintah dalam mendukung program-program sektoral
terutama di
pedesaan, sehingga kemandirian koperasi tidak berkembang dengan
baik. Dalam
era reformasi sekarang ini eksistensi koperasi ternyata semakin
pudar. Pada
satu sisi koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, dan merupakan
salah satu
pilar ekonomi, selayaknya perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah.
Pada sisi lain, salah satu upaya
pemerintah dalam mengurangi pengangguran
dan mengentaskan kemiskinan dilakukan melalui program-program
pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan demikian, melalui pemberdayaan
koperasi diharapkan akan mendukung upaya pemerintah tersebut.
Pemerintah
dalam hal ini dituntut untuk dapat menghasilkan program dan
kebijakan yang
dapat mendukung pemberdayaan koperasi.
Berbagai hasil kajian maupun
penelitian menunjukkan bahwa koperasi
merupakan lembaga perekonomian yang tumbuh dan berkembang dalam
sistem
perekonomian nasional yang secara langsung di pengaruhi oleh
suasana politik
dan sosial di dalam negeri, serta
kondisi perekonomian dunia. Kesemua faktor
eksternal yang bersifat dinamis tersebut membentuk lingkungan
hidup koperasi
yang juga bersifat dinamis. Dalam era globalisasi tantangan dan
kecenderungan
yang dihadapi ke depan sejalan dengan derasnya perkembangan arus
informasi
adalah demokratisasi dan desentralisasi/otonomisasi. Globalisasi
dicirikan oleh
semakin ketatnya persaingan,
demokratisasi dicirikan oleh kebebasan berfikir,
berkata, dan bertindak, sehingga para pelaku bisnis dituntut untuk
selalu inovatif,
kreatif dan mampu beradaptasi. Namun demikian dalam era efisiensi
tidak ada
lagi keberpihakan khusus kepada yang lemah, maka untuk menghadapi perubahan
perekonomian dunia yang mengarah pada persaingan bebas tersebut
koperasi
seharusnya dapat menampilkan karakteristiknya sebagai kumpulan
orang yang
secara bersama-sama dapat membangun kekuatan yang mengarah pada
efisiensi. Namun demikian terlihat kondisi internal koperasi
sendiri masih diwarnai
oleh berbagai kelemahan yang menyebabkan koperasi sulit untuk
mampu
mengembangkan daya saingnya.
dituangkan dalam berbagai
konsepsi pembangunan cenderung mengarah pada
upaya mengejar pertumbuhan melalui berbagai usaha yang bersifat
padat modal,
sehingga mereka yang bermodal lemah seperti koperasi akan mudah
tersingkir.
Masalah pembangunan koperasi
selama era kemerdekaan masih
terjebak dalam persoalan-persoalan klasik seperti lemahnya
partisipasi anggota,
dan rendahnya akses koperasi terhadap sumber permodalan, pasar dan
teknologi.
Dari sini timbul pertanyaannya
“apa sebenarnya yang telah mampu diperbuat
oleh para pembina koperasi selama sudah lebih dari 60 tahun?”.
Memang dari
masa kemasa perkembangan koperasi berfluktuatif. Pada era orde
lama
sebenarnya banyak koperasi yang bagus-bagus atau koperasi-koperasi
yang
dapat melaksanakan berbagai ragam usahanya untuk kepentingan
pelayanan
bagi anggotanya.
Koperasi-koperasi seperti ini
pada waktu itu banyak terlihat
di Kabupaten Tasik malaya, Pekalongan, Cilacap dan Purwokerto.
Pada masa
orde baru, koperasi seperti itu kebanyakan sulit dijumpai lagi,
padahal frekuensi
pembinaan terhadap koperasi pada masa itu dilakukan sedemikian
intensif. Yang
menjadi pertanyaan adalah “bagaimana bisa terjadi kondisi seperti
itu?”. Disini
perlu diperhatikan kembali anatomi koperasi sebagai badan usaha
ekonomi yang
dibangun oleh anggotanya, dimiliki oleh anggota dan bekerja untuk
kepentingan
anggota. Konsepsi seperti ini jelas tertuang dalam UU Nomor 12
tahun 1967,
tetapi jiwa dari prinsip dasar koperasi tersebut tidak terlihat
jelas pada UU
Nomor 25 Tahun 1992.
Dari aspek eksternal pembinaan
koperasi, masalah lemahnya koordinasi
dalam rangka pembinaan yang multi sektor merupakan lagu lama yang
selalu
diperdengarkan kembali dapat disinyalir, hal ini terkait dengan
kebijaksanaan
dasar pemberdayaan koperasi yang tidak secara tegas membagi tugas
pembinaan
secara sektoral. Sehingga ada kesan semua instansi sektoral
mempunyai peran
yang dominan tetapi tanggung jawab terhadap keberhasilannya kurang
diperhatikan dan tanggung jawab tersebut akhirnya hanya
dilimpahkan ke alamat
Inti permasahan yang dihadapi
oleh koperasi sekarang ini adalah
ketidakmampuan koperasi untuk menjadi lembaga usaha yang mampu
memberikan pelayanan kepada anggotanya dalam menghadapi kondisi
perekonomian global yang tidak berpihak kepada kelompok ekonomi
lemah.
Kelemahan internal koperasi lebih
diperburuk lagi dengan kondisi lingkungan
yang diciptakan oleh era globalisasi dan kebijakan makro yang
tidak memberikan
kesempatan kepada mereka yang tidak dapat mengembangkan efisiensi
atau
inovasi dalam berusaha. Efisiensi merupakan fungsi ekonomi yang
terkait
langsung dengan inovasi teknologi dan kecanggihan manajemen
informasi.
Koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibentuk oleh para
anggotanya
yang umumnya terdiri dari UMKM terlihat sulit untuk dapat
mengembangkan
faktor kunci globalisasi tersebut (efisiensi dan inovasi).
Melihat kondisi perkoperasian di
tanah air dewasa ini, sebagaimana
diungkap dan disebutkan dengan jelas dalam dokumen RPJM Nasional
tahun
2004-2009, bahwa “ …Banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari
adanya kebutuhan/kepentingan ekonomi bersama dan prinsip
kesukarelaan dari para anggota sehingga kehilangan jati dirinya
sebagai
koperasi yang otonom dan swadaya dan mandiri …………” Koperasi masih
dijadikan oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar maupun di
dalam
gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi
atau golongannya, yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan
kepentingan anggota koperasi yang bersangkutan dan nilai-nilai
luhur
dan prinsip-prinsip koperasi”, maka l,angkah pemurnian hendaknya
dapat
dilakukan dengan segera oleh semua pihak yang terkait dan para
pemangku
kepentingan, terutama kalangan gerakan koperasi sendiri secara
serentak dan
simultan.
Perlu dikemukakan bahwa lembaga koperasi dalam
konteks ini bukan semata
mata amanat Pasal 33 UUD 1945 normatif, melainkan yang Iebih
hakiki adalah
bahwa koperasi dalam berbagai hal mempunyai keunggulan
dibandingkan
lembaga ekonomi lainnya, terutama pada agrobisnis agroindustri dan
pembangunan ekonomi pedesaan (position). Demikian juga lembaga
koperasi
bukan satu satunya pilihan dalam mengembangkan agroindustri di
Indonesia,
melainkan suatu kelebihan yang cukup penting dan sangat besar
artinya dalam
mengembangkan kelembagaan koperasi, karena petani yang juga
anggota
koperasi selain sebagai anggota juga sebagai pemilik (owners) dan
sekaligus sebagai pemakai (users).
Dari berbagai uraian di atas
dapat dikemukakan bahwa dampak antara
dari kedua kondisi tersebut adalah iklim usaha koperasi yang tidak
mudah untuk
dapat dieliminir oleh kalangan UMKM sendiri. Akibatnya usaha
koperasi tidak
pernah mencapai titik marginal produktivity. Dengan perkataan
produktifitas
koperasi selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang
sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Tidak kondusifnya iklim usaha koperasi
yang
mempengaruhi produktifitas koperasi dapat dilihat dari berbagai
aspek kegiatan
usaha UMKM sebagai berikut :
1) Rendahnya kualitas SDM
Disamping kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan
kondisi
SDM usaha mikro dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan
dan pendidikan mereka. Hasil pengamatan Suhartoyo di Kabupaten
Tasikmalaya (IPB 2004), seperti memperlihatkan bahwa rata-rata
pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha yang ditekuninya
relatif cukup
baik, tetapi dari aspek pendidikan dan pengetahuan tentang inovasi
dibidang
produksi dan pengembangan teknologi serta, dibidang manajemen
usaha
dan pemasaran relatif rendah.
2) Kesulitan untuk mengembangkan permodalan
Rata-rata pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks
harga
tetap relatif rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan
modal
mereka tidak banyak berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit
meningkat hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya inflasi.
Kondisi yang
Strategi Koperasi Dalam Menghadapi Iklim Usaha Yang Kurang
Kondusif (Slamet Subandi)
121
demikian nampaknya sangat wajar karena pendapatan yang diperoleh
koperasi belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
mereka. Kecil sekali peluang bagi kelompok ini untuk menabung yang
dapat digunakan untuk menambah modal atau meningkatkan
investasinya.
3) Rendahnya kualitas teknologi
Hasil kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005
terhadap
27 koperasi contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa
nilai bobot
rata-rata teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru
mencapai
nilai 1,67 atau tergolong dalam kelompok pengguna teknologi
tradisional.
Lebih lanjut dikatakan pengembangan teknologi produksi dari
produk-produk
yang dihasilkan koperasi belum dapat meningkatkan produkfitas dan
memperbaiki kualitas produk.
4) Kelemahan akses terhadap Pasar
Kesulitan koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan
oleh
adanya beberapa faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang
berkaitan dengan informasi. Tetapi kendala tersebut bukanlah harga
mati,
karena banyak variabel-variabel pemasaran produk koperasi yang
dapat
diandalkan seperti rendahnya harga jual produk koperasi yang
menjadi daya
tarik bagi sebagian kalangan di pasar internasional. Rendahnya
eksistensi
koperasi dalam penguasaan pasar memang lebih terlihat sebagai
dampak
dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun sesungguhnya kondisi
pasar
yang demikian merupakan indikator dari adanya masalah pokok yang
tidak
terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang dikuasai oleh
komponen
sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya berperan
sebagai
Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan kemampuan
menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya
(para
pedagang besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat,
yang
selama ini berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat
dipatahkan.
Besarnya minat pasar
internasional terhadap produk-produk koperasi
di Indonesia menurut Wachidin (2001), terlihat di beberapa negara
terutama di
daerah Afrika dan di negara-negara Arab. Sebagian konsumen yang
mengkosumsi produk-produk koperasi dari Indonesia ternyata tidak
mengetahui
bahwa barang yang mereka beli adalah produk dari koperasi di
Indonesia. Untuk
mengatasi masalah tersebut, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh
adalah
mengenalkan produk-produk koperasi tersebut dengan lebih
mengembangkan
jaringan pasar dan atau mengintensifkan kegiatan promosi. Kedua
kegiatan
tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh koperasi karena
keterbatasan
yang ada dikalangan mereka antara lain, a) sebagian besar usaha
mikro
Penutup
Dengan memperhatikan berbagai karakter dan potensi koperasi
terutama dalam hal ketahanannya menghadapi kondisi perekonomian
nasional
yang belum berpihak kepada kelopok miskin maka sudah sepatutnya
koperasi
lebih diberdayakan. Kepentingan pemberdayaan koperasi terkait
dengan
penggunaan modal, penggunaan bahan baku lokal, serta kemampuan
penyerapan
tenaga kerja. Oleh karena itu maka dalam rangka mengatasi masalah
pengangguran dan kemiskinan pemberdayaan koperasi menjadi salah
satu opsi
yang perlu diperhitungkan. Dari pemikiran yang demikian idealnya
pendekatan
pembangunan sekarang ini diarahkan pada usaha mempercepat proses
pemberdayaan koperasi.
Untuk mengimplementasikan konsepsi tersebut
dalam
bentuk program-program nyata diperlukan adanya komitmen politik
yang kuat
dari semua kalangan, dengan menghilangkan terlebih dahulu
kepentingan politis,
kelompok, maupun kedaerahan. Langkah kearah ini memerlukan
kemampuan
untuk memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar
lebih
berpihak kepada koperasi sebagai lembaga perekonomian rakyat.
Namun
demikian, sejauh tidak adanya proses komunikasi politik yang
langsung dibangun
dan ditumbuhkan oleh para pengambil kebijakan di pusat dan di
daerah yang
berdedikasi untuk memberdayakan koperasi, maka mustahil bagi
koperasi untuk
dapat berdiri sejajar dengan perusahaan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar